Perayaan Cap Go Meh

Perayaan Cap Go Meh 2020 berlangsung pada hari ini, Sabtu (8/2/2020). Masyarakat Tionghoa merayakannya di seluruh dunia. Perayaan Cap Go Meh di Indonesia terbilang istimewa karena telah berakulturasi dengan budaya setempat. Di Pulau Jawa, Tionghoa merayakan dengan lontong Cap Go Meh, yang merupakan kuliner serapan dari ketupat lebaran, hanya saja bentuknya bulat menyerupai bulan purnama yang biasa bersinar di penanggalan 15 Tiongkok.

Kuliner lontong untuk Cap Go Meh (sumber gambar : unileverfoodsolutions)

Cap Go Meh diprediksi sudah dirayakan sejak 2.000 tahun yang lalu. Cap Go Meh dulu dilakukan secara tertutup untuk kalangan istana sejak jaman Dinasti Han (206 sebelum masehi-25 masehi) ketika biksu Buddha harus membawa lampion untuk ritual indah. Festival ini dilakukan pada malam hari dengan menyediakan banyak lampion dan aneka lampu warna-warni. Lampion adalah pertanda kesejahteraan hidup bagi seluruh anggota keluarga. Mereka kemudian menerbangkan lampion tersebut sebagai simbol untuk melepas nasib lalu yang buruk dan menyambut nasib baik untuk masa mendatang. Ketika pemerintahan Dinasti Han berakhir, barulah Cap Go Meh dikenal oleh masyarakat dan identik dengan lampion.

Apa itu Cap Go Meh? Kata ‘Cap Go Meh‘ diserap dari Bahasa Hokkian. Cap = Sepuluh, Go = Lima, Meh = Malam. Cap Go Meh adalah hari terakhir dari masa perayaan Tahun Baru Imlek. Dirayakan pada hari ke-15 dari Tahun Baru Imlek. Saat perayaan Imlek ada banyak hal tabu yang tidak boleh dilakukan atau dibeli, misalnya tidak boleh membeli sepatu, buku, menangis, dan hal lain. Cap Go Meh merupakan penanda perayaan Imlek telah usai, begitu pula dengan hal-hal yang dianggap tabu.

Uniknya penyebutan kata ‘Cap Go Meh‘ sebenarnya populer di Indonesia, di negara lain seperti Tiongkok, Taiwan, dan Singapura, nama festival ini berbeda. Di Tiongkok, nama perayaan ini adalah Yuan Xiao atau Shang Yuan. Perayaan Cap Go Meh dilakukan untuk memberi penghormatan terhadap Dewa Thai Yi, dewa tertinggi di langit pada Dinasti Han. Di Taiwan, Cap Go Meh dirayakan sebagai Festival Lampion. Di negara-negara barat, festival ini disebut Lantern Festival (Festival Lampion atau Chinese Valentine’s Day. Disebut hari kasih sayang versi Tiongkok lantaran pada jaman dahulu, perempuan yang belum menikah tidak diperkenankan meninggalkan rumah seorang diri kecuali pada perayaan Cap Go Meh. Sehingga beberapa hari perayaan ini menjadi waktunya bersosialisasi dengan semua orang, terutama lawan jenis calon pasangan hidup, Menyalakan lentera juga identik dengan tanda atau harapan akan mendapat kehidupan percintaan yang lebih baik.

Perayaan Cap Go Meh di Indonesia tidak kalah meriah dengan perayaan Imlek. Saat Imlek dirayakan dengan sembahyang ke kelenteng untuk memanjatkan doa keselamatan dan keberkahan. Kemudian dilanjutkan dengan berkumpul dan makan bersama keluarga. Sedangkan saat Cap Go Meh, orang-orang membawa persembahan berupa kue keranjang dan melakukan sembahyang untuk mengucap syukur dan memohon keselamatan. Kemudian ada acara makan kue keranjang yang bisa dimakan langsung atau digoreng, serta dibagi-bagikan secara gratis untuk warga sekitar.

Saat perayaan Cap Go Meh, juga ada Tarian Barongsai dan Liong (naga). Barongsai adalah simbol kebahagiaan, kegembiraan, dan kesejahteraan. Sedangkan Liong dianggap sebagai simbol kekuasaan atau kekuatan. Masyarakat juga bisa makan onde-onde. Sepanjang perayaan, diramaikan dengan kembang api dan petasan. Petasan dipercaya dapat mengusir energi negatif dan akan membersihkan seluruh lokasi yang dilalui Barongsai.

Pertunjukkan Barongsai (sumber gambar : kumparan)

Di Bogor dirayakan di Jalan Suryakencana, Bogor, Jawa Barat. Sedangkan di Jakarta, perayaan Cap Go Meh dipusatkan di dua tempat yaitu di Thamrin 10 dan di kawasan Pecinan, Pasar Glodok. Cap Go Meh di Singkawang bahkan menjadi Pawai Tatung dan festival lampion yang memikat wisatawan dalam maupun luar negeri.

Atraksi kekebalan tubuh dalam Pawai Tatung di perayaan Cap Go Meh Singkawang (sumber gambar : instagram/yoese_mariam)

Orang Tionghoa dengan kepercayaan Konghucu biasanya juga melakukan sembahyang menjelang Imlek dan Cap Go Meh. Penghormatan leluhur yang sering disebut dengan sembahyang ternyata memiliki makna tersendiri. Orang Tionghoa memiliki sebuah pepatah yang berbunyi sebagai berikut :

“Jika kita minum air, maka kita harus selalu ingat kepada sumbernya”

Berdasarkan pepatah tersebut, jika dikaitkan dengan kehidupan manusia maka kehidupan yang kita jalani saat ini, tidak akan ada jika tidak berasal dari leluhur. Oleh karena itu, manusia harus tetap mengingat dan bersyukur akan kehidupan yang dijalani dengan menghormati leluhur.

Leluhur tidak melulu soal kakek dan nenek moyang. Leluhur dalam kepercayaan orang Tionghoa mencakup keturunan yang lahir sebelum orang tersebut, termasuk ayah dan ibu. Akan tetapi, sembahyang biasa dilakukan untuk menghormati mereka yang sudah meninggal. Umat Konghucu dan Buddha percaya bahwa ada kehidupan lain setelah kematian. Inilah yang juga menjadi alasan mengapa adanya sembahyang leluhur. Sembahyang tidak hanya untuk menghormati dan mendoakan arwah leluhur yang dikenal, tetapi juga kepada arwah yang tidak dikenal secara langsung. Sembahyang ini disebut sebagai Sembahyang Rebutan. Namun, terkadang orang-orang juga menyebutnya dengan Sembahyang Cio-ko pada bulan tujuh (Cit-gwee). Sementara dalam ajaran Buddha, sembahyang tersebut dikenal sebagai upacara Ulambana.

Para umat Konghucu sedang melakukan sembahyang di kelenteng (sumber gambar : kaltim.prokal/gusti ambri)

Melakukan sembahyang sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur di budaya Tionghoa khususnya yang memegang kepercayaan Konghucu merupakan suatu hal yang wajib. Beberapa orang Tionghoa masih memiliki altar sembahyang dalam rumah. Altar ini biasanya disebut sebagai Meja Abu. Barang-barang yang terdapat di atas Meja Abu antara lain adalah papan arwah, dupa dan lilin, uang kertas, dan makanan dan minuman. Untuk makanan dan minuman yang disajikan, setiap orang Tionghoa memiliki variasi yang berbeda. Sajian tersebut juga akan disesuaikan dengan kondisi ekonomi setiap orang. Sebagai sebuah kegiatan yang wajib dilakukan, sembahyang tidak memiliki sebuah peraturan khusus terkait sajian yang dihidangkan di Meja Abu. Hal tersebut agar seluruh orang Tionghoa, baik dari kelas menengah ke atas atau menengah ke bawah, dapat melakukan sembahyang. Selain sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur, sembahyang dalam budaya Tionghoa juga dapat dilakukan sebagai bentuk perayaan kebahagiaan bersama dengan para leluhur.

sumber : experienceluxury (gambar), news.detik, travel.kompas (info)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *