Cina, China, Caina, atau Tiongkok?

Pernahkah kalian mendengar teman atau orang-orang di sekitar kalian menyebut negeri yang sekarang dipimpin oleh Xi Jinping dengan sebutan Tiongkok? Beberapa dari kalian mungkin menyebutnya sebagai Cina, China, atau sebutan lainnya. Jadi, sebenarnya sebutan yang mana sih yang betul?

Penggunaan istilah “Cina” memang dipersoalkan. Para pembicara, misalnya dari Kedubes Tiongkok, menyarankan (namun tidak memaksa) untuk tidak menggunakan istilah “Cina”. Alasannya, istilah ini digunakan Jepang terhadap Tiongkok pada masa perang dengan konotasi negatif. Kemenlu RI saat itu sedang mempertimbangkan untuk menggunakan satu istilah yang konsisten, yaitu “Tiongkok”. Tentu saja ketidakseragaman ini berpotensi “membingungkan” para pengguna bahasa, meskipun ada pendapat bahwa bahasa tidak harus seragam.

Hingga akhirnya Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan Keputusan Presiden No. 12/2014 tentang pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967. Surat edaran lama itu berisi penggunaan istilah “Tjina” (Cina) untuk menggantikan “Tionghoa/Tiongkok”.

Dengan berlakunya Keppres yang ditandatangani pada 14 Maret 2014, dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah orang dari atau komunitas Tjina/China/Cina diubah menjadi orang dan/atau komunitas Tionghoa. Untuk penyebutan negara Republik Rakyat Cina, diubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok. Keputusan Presiden ini dibuat untuk mencabut surat edaran yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Soeharto sehingga istilah yang dipakai sekarang adalah Keturunan Tionghoa dan bukan Keturunan Cina lagi.

Kebencian terhadap etnis Tionghoa bermula dari konstruksi sosial yang diciptakan oleh penguasa pada masa silam, baik Belanda maupun Raja yang berkuasa. Naasnya, kebencian yang tertanam ini diturunkan kepada keturunannya dan disebarluaskan kepada masyarakat luas sehingga kebencian kepada peranakan Tionghoa pun tetap ada sampai sekarang.

Pertimbangan dalam pembuatan keputusan ini adalah bahwa istilah ‘Cina’ dianggap menimbulkan perilaku diskriminatif terhadap peranakan tionghoa. Padahal perilaku diskriminatif itu sendiri sangat bertentangan dengan hak asasi manusia. Bahkan pasal pertama dalam deklarasi HAM menyatakan bahwa manusia memiliki hak untuk diperlakukan secara setara.

Jika kita mengacu kepada aturan yang diterbitkan oleh pemerintah, penggunaan kata Tiongkok dan Peranakan Tionghoa tentunya lebih benar untuk dipilih. Poin-poin pertimbangan pun sangatlah masuk akal dan baik. Semangat memerangi diskriminasi haruslah kita dukung supaya generasi di masa depan tidak lagi perlu berurusan dengan diskriminasi. Keberagaman yang dimiliki oleh negara ini membuat kita semakin kaya. Jangan sampai keberagaman yang ada malah menimbulkan perpecahan.

Sumber : thinkstock/danielvfung (gambar), beritagar, zenius (info)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *